Masa Depan Bahan Bakar Nabati

                                                Masa Depan Bahan Bakar Nabati



Pertanyaannya, bagaimana masa depan pengembangan BBN? Masa depan dan kontuinitas energi alternatif tersebut akan banyak ditentukan bagaimana pemerintah menata sektor energi dengan kebijakan-kebijakan yang komprehensif, berwawasan kedepan dan dilakukan secara konsisten. Jika pemerintah salah paham dalam melangkah, tidak saja euforia pengembangan BBN yang sempat menggelora bakal layu sebelum berkembang, tetapi ketahanan energi (dan ketahanan) domestik bakal berada diujung badik.

Cadangan minyak bumi Indonesia hanya 9 miliar barel. Dengan laju pengurasan produksi 500 juta barel per tahun, minyak bumi hanya tersisa untuk jangka 18 tahun. Gas alam sendiri hanya bertahan 62 tahun dihitung dari jumlah cadangan 188 triliion cubic feet (Tep) dan laju pengurasan 3 Tep per tahun yang sebagian besar di ekspor. Sementara itu, cadangan batu bara sebesar 57 miliar ton sebagian besar (66%) berupa low-rank coal lignite  dan sisanya 19,3 miliar ton berupa medium high rank coal .

Dengan laju produksi sekarang 130 juta ton per tahun, ekspor hampir 3 kali konsumsi domestik, cadangan batu bara bertahan 148 tahun. Namun bila merujuk pada rencana pembangunan pembangkit listrik berbahab baj=kar batu bara yang akan naik 3 kali lipat di tahun 2020, konsumsi domestik bakal berlipat tiga menjadi 10 juta ton pertahun. Bila jumlah ekspor bisa “dibatasi” pada angka tidak melebihi angka ekspor tahun 2004, umur cadagan batu bara kurang menjadi 100 tahun .

Ketahanan energi kita akan membaik bila mampu menangani batu bara kualitas rendah, lebih dari sepertiga bobotnya berupa air, dengan meningkatkan mutu melalui up-graded brown coal dan coal liquifaction. Dengan upaya tersebut, indonesia masih bisa di topang dengan energi fosil untuk 180 tahun lagi. Namun semua otak-atik angka tadi memastikan bahwa Indonesia pada hakikatnya memiliki “keterbatasan” sumber energi fosil. Padahal, mustahil hanya mengandalkan cadangan energi kurang dari 200 tahun untuk mendukung kehidupan yang “semoga” masih miliaran tahun ke depan.

Oleh sebab itu, semua kebijakan dan pengelolaan energi pada semua tingkatan, termasuk pengguna, mengacu pada efisiensi, diversifikasi, konservasi dan lingkungan. Sayangnya, kita tidak hanya lamban menyadari bahwa keberlanjutan kehidupan serta pembangunan di topang oleh energi baru dan terbarukan, tetapi kita juga tidaj pernah memiliki komitmen yang kuat dan konsistensi untuk mengembangkannya.

Sejumlah negara telah menyiapkan sejak jauh-jauh hari. Brasil telah mengekspor surplus produksi bahan bakar  etanol dari kebun tebunya. Denmark beroleh listrik yang seperlimanya dari tenaga angin. India, disamping penghasil gasohol, juga memanfaatkan tenaga angin, biogas, biomassa, dan belakangan menanam besar-besaran jarak pagar. Afrika Selatan yang sempat diembargo puluhan tahun lalu berswasembada dengan mencairkan batu bara yang menghasilkan BBM. Melalui organisasi bisnis China National Offshore Oil Corporation, Cina amat gesit membeli berbagai perusahaan energi dan migad milik negara lain.

Setelah mati suri, euforia pengembangan energi baru dan terbarukan dalam bentuk BBN di Indonesia kembali bergelora seiring keluarnya PP No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Inpres No. 1/2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan BBN (biofuel)  sebagai bahan bakar lain. Biofuel diarahkan pada biopremium (dari tebu, singkong, dan yang lain), biooil, dan biokerose. Sejak 20 Mei 2006, pertamina memasarkan Biopremium E-5 (5% bioetanol dan 95% solar). Sampai akhir 2006, total penjualan Biosolar dan Biopremium mencapai 184.727.989 liter dan 1.408.000 liter.

Konsumsi biopremium dan biosolar dewasa ini amat besar. Menurut Departemen Perhubungan, pada 2007 konsumsi premium dan solar mencapai 33,34 dan 30,4 juta kiloliter. Dari jumlah itu, 20,59 dan 17 kiloliter disedot sektor transportasi. Cetaj biru pengembangan BBN menargetkan, 2025 ada pengurangan konsumsi BBN nasional minimal 10% dan biofuel memberi kontribusi sedikitnya 5% pada energi mix primer. Kalkulasi ekonomi  substitusi bahan bakar fosil (BBF) oleh Biofuel amat menarik.

Misal substitusi premium oleh biopremium. Dengan asumsi tidak ada tambahan kapasitas kilang, diperkirakan 50% atau 16,67 juta kiloliter kebutuhan premium pada 2007 harus diimpor. Jika 1% konsumsi 2007 dipenuhi dari biopremium, dibutuhkan 333,4 juta liter biopremium. Angka ini membutuhkan 2 juta ton singkong per tahun (asumsi produktivitas 20 ton per hektare).

Padahal, satu hektare kebun singkong intendif perlu 110-125 hari kerja orang. Biopremium itu bisa dipenuhi 3-10 pabrik yang akan menciptakan lapangan kerja lebih 2.000 orang. Substitusi1% berarti 333,4 juta liter impor minyak premium terhindarkan. Dengan asumsi harga minyak di pasar25 sen dolar AS per liter, berarti83,35 juta dolar AS bisa dihemat. Multiplier effect ini tidak akan tercipta jika kita impor. Itu baru 1%, bagaimana jika 5% atau 10%. Belum lagi potensi substitusi solar, kerosene atau minyak bakar?

Di luar itu, masih terbuka peluang meraih pendapatan dari penurunan emiisi lewat mekanisme pembangunan bersih (MPB). Dari budi daya 10 juta hektare jarak pagar diproyeksikan dana MPB 800 juta dolar AS per tahun. Dana yang diperoleh kian besar apabila kelapa sawit, tebu, singkong, dan tanaman lain penghasil BBN diusahakan dalam luasan signifikan. Dengan memanfaatkan MPB tak ubahnya menana pohon uang yang terus berubah. Kalkulasi ini berujung di satu titik: BBN bisa menjadi jawaban masalah energi kita. Solusi ini sekaligus mengatasi multikrisis: krisis energi, membuka lapangan kerja baru, mengentaskan kemiskinan, memulihkan jutaan hektare lahan kritis dan tata air.

Meski demikian, masa depan BBN sebagai substitusi BBF tergantung bagaimana pemerintah meregulasi sektor energi. Salah satunya soal harga dan pasar. Misal, biosolar dari CPO (sawit). Tata niaga CPO sebagai minyak goreng pasarnya telah terbentuk dan harga publikasi mengacu pada harga Bappebti. Sebaliknya, sampai kini belum ada harga publikasi FAME (Fatty Acids Metyl Ester) atau biodiesel dari sawit. Per Oktober 2006, haraga FAME Rp. 5.300,00 per liter, lebih mahal ketimbang solar bersubsidi: Rp. 4.200 per liter. Slisih Rp. 55 per liter itu ditanggung Pertamina, yang sampai akhir 2006 merugi Rp. 8 miliar.

Kondisi tersebut selain tidak adil, juga akan mengurangi kemampuan kapitalisasi Pertamina, yang ujung-ujungnya pengembangan BBN jadi tersendat. Tidak adil karena BBN yang ramah lingkungan, non-renewable. Sebagai bagian penataan pasar dan harga, pemerintah sebaiknya menetapkan biosolar, biopremium, biokerosene, dan biooil sebagai bahan bakar public servise obligation yang disubsidi. Agar bahan baku BBN domestik terjamin, perlu mewajibkan produsen biofuel  untuk menyalurkan sebaguan produknya untuk pemenuhan kebutuhan domestik. Untuk mengakselerasi pertumbuhan industri BBN, pemerintah bisa memberikan intensif pajak, baik kepada produsen bahab baku maupun terhadap produk bahan baku biofuel. Tanpa itu semua, pengembangan BBN akan mati karena insentif ekonominya amat tidak menarik.
                                                                                                                      

0 Response to "Masa Depan Bahan Bakar Nabati"

Post a Comment